Total Tayangan Halaman
Selasa, 23 November 2010
Teknologi semakin canggih
Telepon seluler membantu kita dalam banyak hal. Dan sekarang, telepon seluler dapat membantu kita untuk tetap sehat. Dengan keinginan untuk menemukan trend terbaru di teknologi telepon seluler di masa mendatang, perusahaan-perusahaan mobile di Jepang sedang mengembangkan dan memberikan layanan yang mewujudkan keinginan penggunanya untuk tetap fit dengan telepon seluler mereka dan layanan penghubung jaringan.
Dimulai oleh salah satu perusahaan komunikasi terbesar di Jepang, KDDI Au, meluncurkan sebuah layanan di awal tahun ini yang dinamakan Smart Sports. Banyak telepon seluler terbaru telah digabungkan dengan layanan ini. Di dalam telepon seluler tersebut, sensor gerak dan GPS (Global Positioning System) bekerja bersama-sama sehingga ketika penggunanya sedang berlari, maka jumlah langkah yang telah diambil, jarak, dan kalori yang terbakar diukur dan dicatat . Jika pengguna tersebut menginginkan detail informasi yang ada, dia dapat mengirimnya ke server dan kemudian dapat menganalisanya melalui komputer.
Selain itu, musik juga dapat membantu kita selama berolahraga, para pengguna seluler dapat terhubung dengan Lismo, sebuah layanan download musik dari Au dan dapat mengirim lagu yang dipiih ke telepon seluler para penggunanya. Jika pengguna menggunakan mode “Beat Run”, maka aplikasi akan mencocokkan musik dengan cepat lambatnya pengguna tersebut berlari/melangkah selama berolahraga.
Website Smart Sports mengindikasikan 7200 pengguna menggunakan layanan ini pada hari Minggu dan pada bulan ini mencapai 54000 pengguna dan total keseluruhan para pengguna telah menempuh jarak 1 juta kilometer dan telah membakar kurang lebih 38 juta kilo kalori.
Rival KDDI lainnya, NTT DoCoMo juga sedang mengembangkan aplikasi yang berhubungan dengan kesehatan juga. Sistem tersebut mencatat tekanan darah dimana dikirimkan datanya ke telepon seluler melalui Bluetooth. DoCoMo berharap organisasi seperti klub kesehatan dan rumah sakit ikut berpartisipasi sehingga dengan mudah mendapatkan data yang akurat. Sistem ini belum dikomersialisasikan, namun NTT DoCoMo berharap sistem ini akan tersedia bagi umum pada tahun 2009.
Berita.net
Rabu, 20 Oktober 2010
Komunikasi organisasi.
PARA pengguna media elektronik percaya bahwa teknologi informasi (TI) telah
menyebabkan komunikasi berlangsung efisien hingga meningkatkan produktivitas
organisasi dan individu. Namun tak sedikit yang beranggapan, teknologi
informasi dapat mengurangi sensitivitas organisasi dan anggotanya terhadap
lingkungannya sehingga justru menjadi teknologi pengganggu (disruptive
technology) yang mengakibatkan kegagalan perusahaan.
Dampak teknologi informasi terhadap organisasi amatlah beragam di antaranya
adalah perubahan struktur organisasi, fungsi kerja dan penempatan sumber
daya manusia, keahlian teknologi serta interaksi antarmanusia. Dampak
pertama dan kedua lebih menekankan pada kondisi organisasi yang harus
berubah sesuai inovasi. Sedangkan dampak ketiga, yaitu perubahan dalam
kompleksitas hubungan antarmanusia yang selaras dengan perkembangan
informasi teknologi merupakan hal penting karena berhasil tidaknya
organisasi tergantung pada kesatuan anggota organisasi (manusia).
Kita menyadari, kehadiran teknologi informasi telah mengurangi intensitas
tatap muka yang terjadi dalam organisasi. Padahal interaksi seperti itu
dapat mengambil 40% dari satu hari kerja manajer. Goldhaber, ahli komunikasi
organisasi, juga mengungkapkan bahwa anggota organisasi biasanya
menyampaikan keinginan untuk berinteraksi lebih banyak melalui tatap muka
walau membawa risiko bekerja tak efisien. Apakah, dengan demikian, berarti
komunikasi organisasi yang baik menjadi semakin asosial
O` Connell dalam penelitiannya memberikan enam hipotesis yang berhubungan
dengan peranan teknologi dan pengaruhnya dalam komunikasi organisasi:
1. Kesempatan untuk hubungan tatap muka akan hilang dan informasi
berdasarkan isyarat nonverbal berkurang. Akibatnya, kesempatan berbagi
informasi secara acak dan spontan berkurang pula. Para manajer harus
menyusun kerja dan relasi untuk menyediakan kesempatan tatap muka yang lebih
banyak (melalui teks dan simbol).
2. Akan lebih banyak pesan-pesan informal dan memotong hierarki karena
pembenaran terhadap format baru yang muncul sebagai proses alamiah jaringan
elektronik. Struktur organisasi dan alur informasi formal akan didefinisi
ulang.
3. Dampak saluran berarti bahwa pesan-pesan berdampak dan bernilai akan
menurun. Data digital dengan konteks dan interpretasi minim adalah
aturannya. Akibatnya, pengambilan keputusan akan terganggu daripada
terbantu. Ketidakjelasan dalam menginterpretasi informasi akan meningkat dan
kualitas keputusan menurun karena kurangnya pemahaman konteks dan nilai
organisasi. Organisasi harus bekerja lebih keras dalam mengkomunikasikan
sejarah dan nilai-nilai organisasi. Para manajer harus mencari cara baru
untuk mengkomunikasikan komponen afektif dari pesan-pesan. Gaya pengambilan
keputusan yang baru dan lebih baik juga perlu.
4. Kepercayaan akan mempunyai peranan yang berbeda dalam komunikasi.
Kepercayaan akan muncul seiring dengan kebersamaan pengalaman, nilai-nilai,
memberi dan menerima dan sebagai hasil komunikasi antarmanusia. Hadirnya
satelit, e-mail, dan jaringan komunikasi elektronik lainnya dapat mengurangi
dimensi kepercayaan yang selama ini kita telah terbiasa. Jaringan komunikasi
baru dapat saja menggantikan peranan ini.
5. Komputerisasi menghadapkan pada disiplin untuk berpikir linear. Data
terproses dalam kerangka kecepatan sesuai kemajuan perangkat teknologi.
Sebagai konsekuensinya, manusia menjadi tak sabar dan rasa toleransi
berkurang terhadap gaya individu berkomunikasi. Organisasi dapat pula
menjadi berkurang toleransinya terhadap pegawai yang tidak berpikir atau
beranggapan dalam mode linear. Mereka harus mencari cara untuk mendukung dan
melindungi pemikiran serta komunikasi yang bersifat nonlinear.
6. Harapan akan kinerja adalah berdasar pada kondisi machine driven. Dengan
penyesuaian kita terhadap kecepatan dan ketepatan komputer, kita mungkin
mengharap para pegawai mempunyai kualitas dan menghasilkan dengan cara yang
mirip. Para pegawai dalam organisasi dapat menganggap permintaan ini sebagai
hal yang tak manusiawi dan memaksa. Serikat kerja dapat mengangkat
lingkungan kerja seperti itu sebagai persoalan. Maka organisasi harus
mendefinisikan dan menggunakan standar kinerja yang sesuai dengan kondisi
baru.
Perlu disimpulkan bahwa tidak ada inovasi yang muncul tanpa benang yang
terikat. Semakin majunya teknologi inovasi yang ada, maka semakin banyak
konsekuensi yang muncul --sebagian diharapkan namun sebagian juga tidak
disengaja atau tersembunyi. Suatu sistem adalah seperti mangkuk berisi
kelereng. Kita mengambil atau memindahkan satu elemen dan posisi seluruh
kelereng pasti akan berubah.
Namun, perlu diingat pula bahwa inovasi tetap penting untuk dilaksanakan
oleh organisasi. Memang biasanya suatu terobosan atau diterapkannya
teknologi yang `mengganggu` pasti akan ditolak saat pertama kali
diperkenalkan oleh individu yang tak bisa memanfaatkan (Brown, Christensen).
Dengan adanya dampak negatif dan positif dari kehadiran TI bagi komunikasi
keorganisasian seharusnya semakin membuat organisasi berpikir bagaimana
dampak negatif dieliminasi sedangkan dampak positif dimanfaatkan. Para ahli
komunikasi menjelaskan bahwa perbedaan antara komunikasi berbasis komputer
dan komunikasi tatap muka lebih banyak berhubungan dengan waktu yang
tersedia bagi perkembangan hubungan dibanding dengan karakteristik manusia.
Jadi, pada prinsipnya tergantung pada kemampuan manusia mengelola TI bagi
prestasi kerja dan hubungan sosialnya. Bisa jadi bila seseorang berinteraksi
dalam kurun waktu yang cukup lama, maka karakteristik dari komunikasi
berbasis komputer tersebut menjadi interpersonal daripada impersonal dan
terdapatnya sedikit perbedaan antara komunikasi berbasis komputer dengan
tatap muka.
Berdasarkan teori kekayaan media atau pilihan rasional menganjurkan agar
manusia memilih media komunikasi berdasar kekayaan yang melekat pada medium
dan bagaimana tingkatan kekayaan tersebut sesuai dengan kejadian komunikasi
yang berlangsung saat itu.
Trevino, Lengel, dan Daft (1987) mengungkapkan bahwa manajer yang efektif
adalah mereka yang lebih maju dan berhasil dalam organisasi, sangat cocok
dalam menyesuaikan medium yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Dengan
kata lain, manajer tersebut pasti sudah memahami saat yang tepat apakah
memilih media rich atau lean dan disesuaikan dengan situasi. Ide pokoknya
adalah menyesuaikan dengan tepat tingkat kekayaan medium dengan tugas
komunikasi sehingga diharapkan menghasilkan komunikasi efektif.
Penulis adalah Marketing & Communications Manager pada Andersen
Consulting --konsultan global di bidang manajemen dan teknologi-- dengan
misi membantu menciptakan masa depan para klien. Alamat globalnya: http://
www.ac.com
Sumber : Media Indonesia
Tugas softskill
Cara Mengatasi Konflik Dalam Perusahaan
Didalam hubungan komunikasi di suatu lingkungan kerja atau perusahaan konflik antar individu akan sering terjadi. Konflik yang sering terjadi biasanya adalah karena masalah kominikasi yang kurang baik. Sehingga cara mengatasi konflik dalam perusahaan harus benar-benar dipahami management inti dari perusahaan, untuk meminimalisir dampak yang timbul.
Permasalahan atau konflik yang terjadi antara karyawan atau karyawan dengan atasan yang terjadi karena masalah komunikasi harus di antisipasi dengan baik dan dengan system yang terstruktur. Karena jika masalah komunikasi antara atasan dan bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mogok kerja, bahkan demo.
Sehingga untuk mensiasati masalah ini bias dilakukan dengan berbagai cara.
1. Membentuk suatu system informasi yang terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi. Misalnya, dengan membuat papan pengumungan atau pengumuman melalui loudspeaker.
2. Buat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan menjadi lancer dan harmonis, misalnya dengan membuat rapat rutin, karena dengan komunikasi yang dua arah dan intens akan mengurangi masalah di lapangan
3. Beri pelatihan dalam hal komunikasi kepada atasan dan karyawan, pelatihan akan memberikan pengetahuan dan ilmu baru bagi setiap individu dalam organisasi dan meminimalkan masalah dalam hal komunikasi.
Biasanya masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu perusahaan. Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang kurang baik, dan temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin untuk meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di perhatikan
Konflik dalam perusahaan juga sering terjadi antar karyawan, hal ini biasanya terjadi karena masalah diluar perusahaan, misalnya tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan senioritas. Perusahaan yang baik harus bisa menghilangkan masalah senioritas dalam perusahaan. Hal ini dapat meminimalisir masalah yang akan timbul, kerena dengan suasanya yang harmonis dan akrab maka masalah akan sulit untuk muncul.
Selasa, 25 Mei 2010
About Ilmu Sosial Dasar
ILMU BUDAYA DASAR
IBD adalah salah satu mata kuliah yang membicarakan tentang nilai-nilai, tentang kebudayaan, tentang berbagai macam masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Adanya mata kuliah ini, agar semua jurusan dapat mempunyai suatu kesamaan bahan pembicaraan, adanya kesamaan ini diharapkan, agar interelasi antara intelektuil kita lebih sering dengan akibat yang positif bagi pembangunan Negara kita pada umumnya dan perbaikan pendidikan pada khususnya.
Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Untuk mengetahui bahwa IBD termasuk kelompok pengetahuan budaya, lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Ada tiga kelompok besar pada ilmu dan pengetahuan, yaitu:
1. Ilmu-ilmu Alamiah
2. Ilmu-ilmu Sosial
3. Pengetahuan budaya
Mata Kuliah IBD tidak lain merupakan usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan.
Minggu, 25 April 2010
pengertian kebudayaan
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
[sunting]Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
- Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
- alat-alat teknologi
- sistem ekonomi
- keluarga
- kekuasaan politik
- Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
- sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
- organisasi ekonomi
- alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
- organisasi kekuatan (politik)
BUDAYA ORANG SUNDA
Komik Sunda untuk Akrabkan Bahasa Ibu
Sudah Disipkan 10 Judul
Bandung, Kompas - Sulitnya mengajarkan bahasa Sunda pada anak-anak sekolah menginspirasi dua anak muda untuk mengakrabkan bahasa Sunda melalui komik Sunda. Hanya dengan biaya Rp 120.000 mereka menerbitkan 100 eksemplar komik Sunda untuk segmen remaja dan mahasiswa.
Aditya Gunawan (23), cerpenis Sunda sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang sedang praktik mengajar di SD Isola, mengaku kesulitan mengajarkan bahasa Sunda sesuai materi di buku panduan. Siswa-siswanya menilai bahasa Sunda tidak menarik dan sulit.
"Sebab, materinya tidak akrab dengan kondisi zaman sekarang. Misalnya saja tentang wawacan yang berisi pupuh. Itu kan tradisi menulis pada zaman Mataram. Untuk sekadar tahu bisa saja, tapi sulit untuk dipahami anak SD," kata Aditya, Kamis (12/10), sebelum peluncuran komik berjudul Kolor Totol-Totol.
Sejak akhir September, ia dan komikus, Agung Gumbira (27)-yang juga alumnus Jurusan Seni Rupa, dan mengajar di SD yang sama- berkolaborasi memproduksi komik Sunda agar bahasa Sunda diakrabi generasi muda.
"Saat ini banyak generasi muda Sunda tidak lagi menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, tetapi bahasa asing," kata Aditya.
Untuk mengenalkan bahasa Sunda, Aditya menyisipkan perbendaharaan kata Sunda yang sudah jarang dipakai. Misalnya, dalam komik disebutkan kata persani atau magnet. "Dengan melihat gambarnya, orang akan mudah belajar bahasa Sunda," ujar Aditya.
Komik tersebut bertutur tentang tokoh superhero yang konyol dan lugu. Munculnya tokoh tersebut merupakan sindiran terhadap budaya instan yang kini ada di masyarakat.
Pengerjaan komik dilakukan dua minggu, dengan biaya Rp 120.000. Mereka mengerjakan dengan teknik sederhana. Komikus, Agung Gumbira (27), menggambar dengan media kertas HVS dan tinta dan hasilnya difotokopi. Satu eksemplar menghabiskan biaya sekitar Rp 1.200. Keduanya menjual komik tersebut ke distro dan sekolah-sekolah seharga Rp 2.000 per eksemplar.
"Kami ingin mempertahankan bahasa Sunda sekaligus memberi tawaran baru pada generasi muda. Komik tidak hanya komik Jepang. Sunda juga punya komik," ujarnya.
Komik ini merupakan judul pertama dari sekitar 10 judul yang akan diterbitkan. "Untuk saat ini kami menerbitkan sendiri. Setelah seluruh serial terwujud, kami akan menerbitkannya menjadi buku yang lebih serius," kata Agung.
Sebelum diluncurkan, keduanya melakukan uji coba dengan meminta beberapa remaja membacanya. "Ada yang tidak mengerti bahasa Sunda. Tapi karena penasaran melihat visualisasinya, ia penasaran akan isinya, dan meminta temannya menerjemahkan," kata Aditya.
Wulandari (21), mahasiswa Jurusan Sastra UPI, mengatakan, "Bagus kalau makin banyak komik berbahasa Sunda. Saat ini makin banyak orang yang tidak bisa berbahasa Sunda karena tidak mengerti, dan mempelajarinya sulit. Kalau komik, sifatnya ringan dan menghibur sehingga bisa menolong anak-anak". (ynt)
BUDAYA POLITIK
BUDAYA POLITIK | for everyone |
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankanstatus quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
1. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verbadengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almondmengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No | Budaya Politik | Uraian / Keterangan |
1. | Parokial | a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol. b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat. c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik. d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim. f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif. |
2. | Subyek/Kaula | a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol. b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif. d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan. e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif. |
3. | Partisipan | a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu. b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan outputsistem politik) c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik d. Masyarakat berperan sebagai aktivis. |
Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacyatau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik | ||
Demokratik Industrial | Sistem Otoriter | Demokratis Pra Industrial |
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untukmenjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar. | Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif. | Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan |
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman -pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap -sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi